Cerpen Inspiratif : Kabut di Mata Ibu - Karya Zainuddin Muza
KABUT
DI MATA IBU
Cerpen Inspiratif : Zainuddin Muza
Ibu
punya dua mata yang indah. Kelopak matanya bulat. Bulu matanya halus dan rapi. Konon,
di dalam mata ibu itu ada kehidupan. Kehidupan itu di sana sangat indah. Dalam
kehidupan itu ada sungai, lautan, hutan, telaga, dan gunung-gunung. Katanya ayah
pernah mengunjunginya. Tidak hanya sekali, tapi ayah sudah berkali-kali
mengunjunginya. Hebat kan mata ibu? Kata ayah sambil terkekeh.
Akhirnya, atas perkataan ayah itulah aku
sering murung di kamar. Melihat foto-foto ibu. Dan, setiap kali melihat foto
ibu, pasti aku melihat matanya. Aku terus pandang foto mata ibu, namun belum
menemukan kehidupan. Aku tidak mengerti mengapa di mata ibu itu ada kehidupan?
Apa ayah berbohong? Tidak mungkin. Kalau ayah suka bohong, mana mungkin ibu
tetap setia padanya, meski ditinggal bekerja di kota Tua?
***
Suatu
pagi ibu sibuk menyisir rambutku, meski umurku menginjak usia sepuluh. Namun
begitulah aku. Aku selalu diberlakukan seperti anak kecil oleh ibu lantaran
kurangnya perhatian dari ayah. Ibu sangat sayang padaku. Dia yang selalu
memintaku untuk menyisir rambutku. Aku tambah sayang pada ibu.
Ketika itu, kulihat matanya indah sekali,
tapi tidak ada tanda kehidupan di dalamnya. Aku terheran-heran. Apa benar ayah
memang berbohong? Maka, aku bergegas menanyakan langsung pada ibu.
“Bu, kata ayah. Ibu itu punya mata yang
sangat indah. Di dalam mata Ibu itu, katanya ada kehidupan. Ayah di sana sering
melakukan perjalanan. Tapi, setelah aku melihat mata Ibu, kenapa tidak ada
kehidupan? Ayah pasti berbohong!”
Ibu hanya menanggapiku dengan senyum. Kulihat
matanya seperti kaca. Bening sekali. Bulu matanya sepertinya sangat lembut,
tertata rapi. Alisnya seperti diukir sehingga tampak rapi. Dan tampak benjolan menyerupai
jerawat tumbuh di keningnya. Sesekali dia tersenyum padaku. Senyuman yang
lembut.
“Ayah berbohong kan, Bu?”
Kali ini ibu malah menggeleng. Senyumnya
semakin berkembang. “Ayahmu tidak berbohong kok. Memang begitu kenyataanya. Dan
Ayahmu juga punya mata yang indah. Di dalamnya juga ada kehidupan. Ibu sering
jalan-jalan di dalamnya.”
“Ada laut, sungai, hutan, telaga, dan
gunung-gunung.”
“Iya.”
Aku bungkam. Ternyata semuanya itu
benar. Aku kembali mengamati mata ibu, yang sebenarnya memang indah. Kelopak
matanya bulat. Indah sekali! Kalau seperti ini, aku ingat jadi ingat ayah.
“Ibu, aku ingin ke kota Tua.”
“Buat apa?”
“Ingin ketemu Ayah!”
“Ayahmu kan, bekerja. Jadi jangan
diganggu.”
“Sebentar saja. Apa salahnya? Lagipula,
Ayah kan sudah tiga bulan ini tidak pulang. Aku rindu Ayah, sekalian mau
melihat matanya, yang kata Ibu ada kehidupan. Aku ingin membuktikan sendiri!”
Ibu yang sejak tadi hanya tersenyum,
kini tawanya pecah. Ketika kulihat wajahnya, tampak berseri. Sepertinya ibu
sangat senang kalau ketemu ayah. Seperti itulah penglihatanku mengenai ibu,
sebelum kami berangkat ke kota Tua menemui ayah.
***
Kota
Tua dengan tempat tinggalku memang jauh. Lebih jauh dari pandangan mata. Kami
harus menaiki kendaraan umum, dengan melewati jalan yang berliku-liku,
jembatan, selat, rel kereta api, dan telah memakan waktu selama dua hari.
Perjalanan yang benar-benar melelahkan.
Ketika kuperhatikan ibu berkali-kali
menghubungi ayah, di wajahnya tampak kekhawatiran. Keringatnya bercucuran. Berkali-kali
ibu mengusapnya, tapi keringat itu tetap tumbuh lagi. Dan ibu berkali-kali
membelikan aku minuman dingin karena kota ini udaranya panas.
“Sabar ya?” ucap Ibu sambil mengusap
keringatku dengan sapu tangan, dan mengelus-elus kepalaku yang mulai panas. “Sebentar
lagi Ayahmu datang.”
“Jauh ya, Bu, tempat Ayah dari sini?”
“Heem.”
Tak lama, ada sosok lelaki yang bertubuh
tegap, dengan memakai jas hitam dan memakai kaca mata. Rambutnya yang hitam
pekat seakan diatur dengan cara membelah dua secara simetris di tengah kepala.
Aku tahu dia ayahku. Dia langsung memeluk ibu dengan erat, seakan mencurahkan
kegembiraannya. Ayah sepertinya sangat rindu pada ibu. Ibu juga tampak
demikian. Namun pelukan ayah berlanjut padaku, hingga aku benar-benar merasakan
pelukan hangat seorang ayah. Lalu dia melepaskannya.
“Ayah rindu sekali sama kamu. Ayah
bangga punya anak seperti kamu.”
“Aku juga bangga punya orang tua seperti
Ayah, yang berpakaian seperti ini. Kayak presiden,” kataku. “Ayah, coba lihat
matanya. Kata Ibu, di mata Ayah juga ada kehidupan. Ayah dulu kan juga begitu
kan, sama aku?”
“Iya, lihat saja.”
Beberapa lama aku melihat mata ayah,
tetapi tetap saja sama seperti mata ibu. Mata ayah juga indah, kelopaknya
bulat, dan bulu matanya seperti di sisir, namun aku tidak menemukan kehidupan
di dalamnya. Apa ibu berbohong? Tidak mungkin. Apalagi sampai ibu bersekongkol
dengan ayah. Sangat mustahil.
Kemudian kami beranjak dari tempat itu
dengan menaiki sebuah mobil yang mewah. Warnanya putih. Dan di dalamnya aku
menggigil, sampai ibu memakaikan jaket tebal buatku.
Di kota Tua ini, aku tinggal di sebuah
rumah yang sedikit mewah. Rumah yang diseluruh lantainya seperti kaca. Dan
sungguh, sangat menyenangkan. Tapi itu hanya bertahan beberapa hari karena aku
harus sekolah. Ibu tidak memberiku izin untuk berlama-lama di kota ini. Kata
ibu, kota ini kurang baik untuk tinggal. Entah tahu kenapa? Apa ibu sedang
berseteru dengan ayah? Tidak mungkin. Hmmm, tapi mungkin saja. Buktinya, hanya aku
dan ibu pulang, sementara ayah tetap dengan kesibukan kerjanya.
***
“Ibu,
kenapa aku tidak menemukan kehidupan juga di mata Ayah? Aku rasa antara mata
Ibu dan Ayah tak ada bedanya. Sama-sama indah.”
Ternyata ibu masih terdiam, seperti
menghiraukan pertanyaanku.
“Kenapa aku tidak bisa menemukan
kehidupan itu, Bu? Ada yang salah denganku?”
Ibu menggeleng. “Tidak ada yang salah
kok, Nak!”
“Lalu, apa maksud kehidupan di mata Ibu
dan Ayah itu? Kenapa aku, sebagai anakmu sendiri pun tidak bisa menemukannya?
Jangan-jangan Ayah dan Ibu berbohong?”
“Tidak. Ibu tidak berbohong!”
“Lantas kenapa Ibu tidak menjawab
pertanyaanku itu?”
“Belum waktunya, Nak!”
Semenjak pulang dari kota Tua itulah,
ada yang beda dengan ibu. Mata ibu tidak seindah dulu. Sekarang di mata ibu ada
yang menggantung, seperti awan tebal dan mungkin sebentar lagi akan terjadi
hujan. Aku tidak tahu kenapa ibu seperti itu? Dia selalu nampak murung,
pura-pura saja tegar kalau aku tanya. Entah, aku tidak mengerti. Ada masalahkan
dengan ayah?
***
Waktu
pun terus berganti, ternyata ayah tidak pulang juga. Kata ibu, pekerjaan ayah
bertambah. Meski begitu, ayah selalu saja mengirimkan salam buatku. Ibu
meambahkan bahwa jangan pernah meragukan kasih sayang ayah. Ayah tidak akan
pernah lupa padaku, katanya. Tapi jika ayah benar-benar sayang padaku, kenapa
tidak bilang sendiri padaku? Kini sudah hampir setahun ayah tidak pulang,
sampai berapa lama lagi? Seharusnya ayah pulang, dan menemui ibu. Aku tidak
tega terus-menerus melihat mata ibu yang sudah seperti berkabut. Sungguh aku
tahu dengan keadaan ibu yang dilanda rindu. Kesepiannya semakin menjadi-jadi,
dan hanya ada aku yang mengisi hari-harinya, bukan ayah.
Kali ini, aku memutuskan untuk
menanyakan kembali, perihal ayah. Dan aku rasa,
“Apa karena Ayah, sehingga Ibu begini?”
“Tidak.”
“Apa karena Ibu tidak menemukan
kehidupan lagi di mata Ayah? Seperti itukah, Bu?” kataku, lalu berhenti
sejenak. “Kalau begitu, kenapa Ibu tidak minta cerai saja. Lagipula, sepertinya
ayah sudah tidak memedulikan kita.”
Baru kali ini ibu menampakkan isaknya,
di hadapanku. Isak yang sangat memilukan. Aku tahu ibu rindu ayah. Aku tahu ibu
tidak mau kehilangan ayah. Tapi, aku ingin tahu kenapa dia tetap mempertahankan
hubungannya dengan ayah? Dalam keadaan seperti inilah, ibu akan mengelurkan
rahasianya.
“Aku tidak mungkin melakukan itu, Nak.
Sungguh mustahil itu terjadi.” Sesekali dia menghela napas dalam-dalam.
“Seperti yang kamu bilang, bahwa di dalam mata Ibu dan juga Ayahmu itu, sebenarnya
memang tidak ada kehidupan. Dan itu benar bagi penglihatan orang pada umumnya.
Ungkapan itu hanya sebatas perumpamaan saja bagi setiap orang yang sudah punya
pasangan hidup. Tentu itu artinya, sesama pasangan harus saling mengisi dengan
pengertian, perhatian, dan kesetiaan.”
Kali aku terdiam. Ketika kulihat ibu,
nampak matanya benar-benar seperti berkabut. Di dalamnya seperti ada awan yang
menggantung dan menurunkan hujan. Sesekali dia mengusapnya. Meski dalam keadaan
sedih seperti itu, ibu nampak selalu tegar.
“Tapi tenanglah, ibu sekarang sudah
melahirkan mata yang lebih indah. Mata yang di dalamnya ada kehidupan. Ada
taman yang di dalamnya ada bunga, air sungai yang jernih, buah-buahan, segala
jenis minuman, dan rumah indah. Kehidupan yang lebih dari indah dari surga.
Kamu tahu siapa yang punya mata indah itu?”
“Siapa, Bu?”
“Kamu.”
“Kok?”
“Karena kamu terlahir dari dua orang
pasangan yang punya mata dan di dalamnya ada kehidupan.”
Aku tersenyum lirih. Dadaku
meledak-ledak ingin tertawa. Lagipula perkataan ibu sangat menyanjungku. Aku
tidak tahu maksud ibu berkata seperti itu. Yang pasti, ibu tidak mungkin
melihatku sedih. Apalagi jika dikait-kaitkan dengan ayah, yang tak kutahu
kabarnya. Tapi, ketika ketika melihat mata ibu, tetap saja seperti ada kabut
yang menggantung. Mungkin saja kabut itu akan terus menggantung dan menjatuhkan
hujan, jika ayah tetap tidak pulang.
Sungguh, aku tidak terima dengan
perlakuan ayah pada ibu. Sepertinya ini tidak adil. Lagipula tidak hanya ibu
yang merasakan perihnya rasa rindu, aku pun juga demikian. Namun sepertinya
rindu itu tidak biasa. Sepertinya rindu itu telah membakar hatiku.
Yogyakarta, 2015
*penulis tercatat
sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Saat bergiat di komunitas Garawiksa
Institute, cerpennya pernah di muat di Majalah Arena, Minggu Pagi, Radar
Surabaya, dan Republika. Selain itu novel pertamanya yang berjudul ‘Kolase’
telah diterbitkan oleh Penerbit Diva Press Yogyakarta. Kini tinggal di Yogyakarta:
Jln. Gedongkuning Gg. Irawan RW. 34 RT. 08 No. 306 Banguntapan, Bantul.
Contac Person : 089674687512
Post a Comment