Daniel H.T : Akankah Megawati Menangis Lagi?
Opini (KompasDakwah) -Kamis
sampai dengan Minggu (9-12 April 2015), PDIP akan menyelenggarakan
Kongres-nya yang keempat di Bali. Pada saat itu, tentu saja Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarnoputri akan menyampaikan pidatonya.
Nah, dengan
kondisi ekonomi, sosial, dan politik sekarang ini, apakah nanti dalam
pidatonya itu Megawati akan menangis sampai sesenggukan lagi? Apakah
Megawati akan menyatakan lagi kesedihannya yang tak tertahankan itu,
karena rakyat banyak menderita sebagai akibat dampak kenaikkan harga BBM
sekarang?
Pertanyaan
ini diutarakan karena mengingat pada masa lalu, saat pemerintahan
dipegang oleh Presiden SBY, Megawati dan PDIP sangat gencar menentang
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM itu. Dipimpin oleh berbagai
petingginya, PDIP menggalang unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota
di seluruh Indonesia, untuk menyatakan penolakan kebijakan pemerintahan
SBY itu (maklum saat itu sudah semakin dekat Pilpres 2009).
Pada 27 Mei
2008, saat membuka Rakernas PDIP di Makassar, Megawati menyampaikan
pidatonya. Pada saat itulah Megawati sampai menangis tersedu-sedu
menyatakan kesedihannya atas kesusahan rakyat karena Presiden SBY
menaikkan harga BBM itu.
Pada
kesempatan itu, Megawati sempat mendendang lagunya Iwan Wals, “Gawang
Rambu Anarki”, dengan mengubah syairnya untuk menyindir kebijakan
Presiden SBY itu.
“BBM naik tinggi susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi …”
Megawati bersenandung, yang disambut tepuk tangan riuh dari peserta
Rakernas itu. Ia mengaku hatinya teriris-iris menyaksikan penderitaan
rakyat yang semakin berat dengan naiknya harga BBM itu.
“Bangsa
Indonesia terpuruk dan telah kehilangan martabat dan harga diri. …
Banyak rakyat lapar karena tingginya angka kemiskinan, tidak mendapatkan
pendidikan yang bagus, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik
…,” Mega tampak tak mampu melanjutkan kata-katanya, nafasnya terdengar
sesak, ia menangis, menyeka air matanya dengan tangannya.
Beberapa
saat suasana dalam ruangan Rakernas itu hening, seolah-olah seluruh
kader pDIP turut merasakan kesedihan Ketua Umumnya itu terhadap rakyat
kecil. Setelah berhasil mengendalikan dirinya lagi, Mega melanjutkan
pidatonya itu, “Saya sedih melihat rakyat banyak yang menderita, padahal
kita punya banyak kekayaan alam, namun angka kemiskinan tinggi” (Okezone.com).
Sekarang,
bagaimana dengan sikap Megawati/PDIP saat giliran mereka yang menjadi
partai berkuasa dengan kadernya, Jokowi sebagai presiden yang menaikkan
harga BBM?
Apakah
dalam pidatonya di Kongres IV PDIP di Bali nanti itu Mega akan kembali
menyatakan kesedihannya atas dampak sosial dan ekonomi terhadap rakyat
kecil akibat dinaikkan harga BBM oleh Presiden Jokowi, sekarang?
Tentu Mega
tidak akan menangis lagi. Tapi, apakah itu karena kondisi dampak kenaian
harga BBM pada 2008 dengan kondisi sekarang itu berbeda? Dulu (2008),
menurut Mega, rakyat menderita karena kenaikan harga BBM, dan sekarang,
tidak, karena suasananya berbeda, dan Presidennya Jokowi?
Megawati
pernah menjelaskan bahwa ia dan PDIP sama sekali tidak plin-plan
mengaikan kenaikan harga BBM. Sikap mereka berubah bukan karena Jokowi
yang menaikkan harga BBM, tetapi karena memang kondisi ekonomi 2008 itu
berbeda dengan kondisi sekarang? Pada kesempatan itu Megawati malah
masih sempat menyalahkan SBY, yang saat menjadi Presiden tidak berani
mengambil tanggung jawab dengan menaikkan harga BBM, meskipun sudah
diminta Jokowi.
Apakah
memang betul kondisi sosial ekonomi 2008 berbeda dengan sekarang,
sehingga saat ini PDIP justru berbalik mendukung kenaikan harga BBM?
Lalu, pada
2008 itu, air mata apa yang dulu mengalir dari sepasang mata Megawati?
Murni air mata seorang tokoh bangsa yang sangat perduli dengan nasib
rakyat kecil, ataukah air mata politikus yang sedang mengincar kursi
presiden dalam Pilpres 2009, ataukah memang ciri khas politikus yang
pandai bermain sandiwara dengan air mata buayanya? Ini perlu diperjelas.
Yang pasti
dalam momen ini telah terjadi paradoks dan ironi: saat pemerintah
menaikkan harga BBM, yang diikuti dengan naiknya harga barang-barang
kebutuhan sehari-hari, menghimbau rakyat untuk menghemat, kok
bisa Presiden Jokowi malah menandatangani Keppres yang menaikkan
fasilitas uang muka bagi pejabat negara untuk membeli mobil mereka, dari
Rp. 116.650.000 menjadi Rp. 210.890.000.
Setelah mendapat banyak sekali kecaman atas keputusannya itu, Jokowi — entah pura-pura atau benaran –
menyatakan keterkejutannya adanya fasilitas uang muka pembelian mobil
pejabat negara yang dinaikkan sampai Rp 210 juta lebih itu. Ia bilang,
ia tidak tahu, padahal Surat Keputusan itu ia yang tanda tangan. Jokowi
pun memberi pernyataannya yang sangat mengejutkan, rupanya ia begitu
saja tanda tangan surat keputusan presidne itu tanpa tahu apa isinya!
“Tidak semua hal itu saya ketahui 100 persen artinya hal seperti itu harusnya di kementerian sudah meng-screening apakah berakibat baik dan tidak untuk negara,” kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Minggu (5/4), sepulangnya dari Solo.
Jokowi
justru menyalahkan menteri terkait, karena dalam beberapa rapat terbatas
tidak mempersoalkan hal itu. Apalagi, usulan itu berasal dari Ketua DPR
Setya Novanto ke yang diproses di Sekretaris Kabinet dan dikaji oleh
Kementerian Keuangan.
Jokowi
mengaku banyak perpres, keppres dan peraturan lainnya yang membutuhkan
tanda tangannya. Untuk itulah, Jokowi menyerahkan urusan yang sifatnya
teknis atau administrasi kepada para menterinya.
“Tiap hari ada segini banyak yang harus saya tanda tangan. Enggak mungkin
satu-satu saya cek kalau sudah satu lembar ada 5-10 orang yang paraf
atau tanda tangan apakah harus saya cek satu-satu? Berapa lembar satu
Perpres satu Keppres. Saya tidak tahu, saya cek dulu,” terangnya (Kompas.com).
Karena
kecaman yang bertubi-tubi dari masyarakat itu, Jokowi akhirnya mencabut
kembali Keppres yang baru saja ia tandatangan sendiri itu.
Tidak
mungkin cek satu per satu? Apakah harus cek satu per satu sebelum
membubuhi tanda tangan? Jawabannya: Tentu saja mungkin dan harus! Jika,
tidak, pasti akan ada peristiwa serupa dengan Keppres tentang menaikkan
uang muka mobil pejabat negara itu. Yang bisa bahkan lebih fatal lagi
akibatnya. Untung saja Indonesia tidak punya senjata nuklir!
Sangat
berbahaya jika Presiden menandatangani suatu dokumen tanpa tahu apa
isinya. Jangankan urusan negara, dalam urusan skala mini pun
menandatangan sesuatu dokumen tanpa tahu apa isinya bisa sangat fatal
akibatnya. Anda berani tandatangan begitu saja sebuah dokumen, padahal
isinya surat pengakuan hutang anda!
Jangan-jangan,
sewaktu menandatangani surat keputusan menaikkan harga BBM pun Jokowi
sebenarnya tidak tahu kalau itu surat keputusan menaikkan harga BBM?
Kalau
sampai begitu, rasanya, nanti Megawati patut menangis lagi di Kongres IV
PDIP di Bali. Kali ini, bukan karena penderitaan rakyat sebagai dampak
naiknya harga BBM, tetapi karena terlalu sedih: Kok punya kader Presiden
bisa begitu gegabah!?
Tapi, apa
pun yang terjadi, seharusnya seorang tokoh itu tak mudah menangis di
depan umum, apalagi kalau tangisan itu tangisan politik. ***
Post a Comment